Selasa, 21 April 2009

Penerapan Good Corporate Governance Dalam Perbankan Syariah

Oleh :Endri, SE. MA - Pendahuluan

Memasuki abad ke-21, tuntutan untuk pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance, GCG) dalam pengelolaan perbankan syariah sangat penting segera dilakukan. Pemicu utama berkembangnya tuntutan ini diakibatkan oleh krisis yang terjadi di sektor perbankan yang umumnya didominasi oleh perbankan konvensional pada pertengahan tahun 1997 yang terus berlangsung sampai tahun 2000. Secara global, tuntutan pelaksanaan CGC semakin menguat setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron dan Worldcom di AS, serta tragedi jatuhnya HIH dan One-tel di Australia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan laporan dari Bank Dunia dan ADB krisis perbankan yang terjadi di Indonesia dan keruntuhan perusahaan-perusahaan besar dunia disebabkan oleh karena buruknya pelaksanaan praktik-praktik GCG.

Perkembangan yang begitu pesat akhir-akhir ini dari aktivitas perbankan syariah dimana berdasarkan laporan Bank Indonesia sampai kwartal I tahun 2006, aset bank syariah telah mencapai Rp. 21 triliun dengan 19 bank yang telah beroperasi secara syariah dan memiliki lebih dari 500 kantor cabang menuntut segera diimplementasikannya praktik-praktik GCG dalam pengelolaan perbankan agar dapat memberikan perlindungan yang maksimum kepada semua pihak yang berkepentingan dalam stakeholder, terutama nasabah atau deposan. Disamping itu penerapan GCG dapat

membantu bank syariah meminimalisasi kualitas pembiayaan yang tidak baik, meningkatkan akurasi penilaian bank, infrastruktur, kualitas pengambilan keputusan bisnis, dan mempunyai sistem deteksi dini terhadap high risk business area, product, dan services.

Dukungan terhadap penerapan GCG pada perbankan syariah juga diberikan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas perbankan dalam negeri dengan segera menyusun kode etik GCG khusus perbankan syariah, sementara lembaga internasional syariah seperti Islamic Financial Services Board (IFSB) tahun 2005 telah berhasil merampungkan pedoman standard GCG untuk lembaga keuangan Islam internasional.

Definisi Good Corporate Governance

Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan GCG yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi semua pihak yang berkepentingan dengan GCG disebabkan karena cakupan GCG yang lintas sektoral. GCG dapat didekati dengan berbagai disiplin ilmu antara lain ilmu makroekonomi, teori organisasi, teori informasi, akuntansi, keuangan, manajemen, psikologi, sosiologi dan politik (Turnbull, 1977). Definisi CGC menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.

Sementara Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata kelola organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tata kelola organisasi secara baik apakah dilihat dalam konteks mekanisme internal organisasi ataupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip diatas sedangkan mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmoni tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.

Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance dalam Perbankan Syariah

Pada dasarnya prinsip-prinsip pokok dan best practices GCG yang dikembangkan pada perbankan syariah hampir sama dengan perbankan konvensional. Hal ini disebabkan karena secara umum, fungsi bank syariah sama dengan perbankan konvensional. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan konsep GCG diantaranya adalah kultur manajemen, akuntansi, dan pengawasan. Sebab, faktor-faktor tersebut nanti-nya dapat mempengaruhi berbagai hal, seperti perlindungan hak stakeholder. Istilah stakeholder dalam perbankan syariah mencakup pemegang saham, manajemen bank, karyawan, dan investement account holder (IAH). Investment account holder (IAH) merupakan nasabah atau deposan dalam perbankan konvensional.

Implementasi tata kelola perusahaan secara efektif dalam perbankan syariah memerlukan adanya pemahaman mengenai prinsip-prinsip GCG yang meliputi:

1. Akuntabilitas berarti tuntutan agar manajemen perusahaan memiliki kemampuan answerability yaitu kemampuan untuk merespon pertanyaan dari stakeholders atas berbagai corporate action yang mereka lakukan.

2. Transparansi berarti ketersediaan informasi yang akurat, relevan dan mudah dimengerti yang dapat diperoleh secara low-cost sehingga stakeholders dapat mengambil keputusan yang tepat. Karena itu, perusahaan perlu meningkatkan kualitas, kuantitas dan frekuensi dari laporan kegiatan perusahaan’

3. Responsibility memastikan bahwa bank dikelola secara hati-hati sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menetapkan manajemen risiko dan pengendaliaan yang sesuai

4. Independency bertindak hanya untuk kepentingan bank dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas yang mengarah pada timbulnya conflict of interest

5. Fairness menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, manajemen dan karyawan bank, nasabah serta stakeholder lainnya

Dalam ajaran Islam, kelima prinsip-rpinsip pokok GCG diatas sesuai dengan norma dan nilai Islami dalam aktivitas dan kehidupan seorang muslim. Islam sangat intens mengajarkan diterapkannya prinsip 'adalah (keadilan), tawazun (keseimbangan), mas'uliyah (akuntabilitas), akhlaq (moral), shiddiq (kejujuran), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah (kecerdasan), tabligh (transparansi, keterbukaan), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggung jawab), ihsan (profesional), wasathan (kewajaran), ghirah (militansi syariah, militansi syari'ah, idarah (pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), ijabiyah (berfikir positif), raqabah (pengawasan), qira'ah dan ishlah (organisasi yang terus belajar dan selalu melakukan perbaikan).

Berdasarkan uraian di atas dapat dipastikan bahwa Islam jauh mendahului kelahiran GCG yang menjadi acuan bagi tata kelola perusahaan yang baik di dunia. Prinsip-prinsip itu diharapkan dapat menjaga pengelolaan institusi ekonomi dan keuangan syari'ah secara profesional dan menjaga interaksi ekonomi, bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan dan best practice yang berlaku.

Tujuan Penerapan Good Corporate Governance

Penerapan sistim GCG dalam perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:

1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan

2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan

3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para stakeholders

4. Pendekatan yang terpadu berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi, pengelolaan dan partisipasi organisasi secara legitimate

5. Menimalkan agency cost dengan mengendalikan konflik kepentingan yang mungkin timbul antara pihak prinsipal dengan agen

6. Memimalkan biaya modal dengan memberikan sinyal positif untuk para penyedia modal. Meningkatkan nilai perusahaan yang dihasilkan dari biaya modal yang lebih rendah, meingkatkan kinerja keuangan dan persepsi yang lebih baik dari para stakeholders atas kinerja perusahaan di masa depan

Dengan demikian melalui beberapa tujuan diatas, penerapan GCG pada bank syariah diharapkan: (1) semakin meningkatnya kepercayaan publik kepada bank syariah, (2) pertumbuhan industri jasa keuangan Islam dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan akan senantiasa terpelihara, dan (3) keberhasilan industri jasa keuangan Islam dalam menerapkan GCG akan menempatkan lembaga keuangan Islam pada level of playing field yang sejajar dengan lembaga keuangan internasional lainnya.

Disamping itu, kita juga perlu membangun suatu sistem GCG yang efektif bagi bank syariah dengan memperhatikan sejumlah pilar mekanisme GCG, antara lain:

1. Peran dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus dioptimalkan untuk memberikan keyakinan bahwa seluruh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan tidak melanggar kaidah-kaidah syariah

2. Bank syariah harus memiliki sistem pengawasan internal dan manajemen risiko yang tangguh. Hal ini penting agar dapat mendeteksi dan menghindari terjadinya salah kelola dan penipuan maupun kegagalan sistem dan prosedur pada bank syariah

3. Dalam konteks syariah, auditor eksternal tidak saja berperan untuk memberikan opini bahwa laporan keuangan bank telah disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Auditor eksternal juga harus bekerja sama dan mengorelasikan pekerjaannya kepada DPS dan auditor internal untuk mendapat keyakinan bahwa penyajian lapora keuangan telah memiliki tingkat pengungkapkan dan transparansi yang memadai

4. Transformasi budaya korporasi yang islami dan peningkatan kualitas SDM harus menjadi komitmen bagi manajemen bank syariah

5. Perangkat hukum dan peraturan Bank Indonesia dan pasar modal yang sesuai dengan karakteristik bank syariah menjadi prasyarat guna terciptanya iklim pengawasan dan GCG yang sehat bagi perbankan syariah di Tanah Air. STEI TAZKIA

Signifikansi Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Daerah

>>>>> Signifikansi Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Daerah<<<<<<<
Krisis moneter yang mengguncang Indonesia sepuluh tahun yang lalu semakin menyardarkan banyak pihak tentang pentingnya fundamental ekonomi yang kuat dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Sector moneter yang tidak ditopang oleh sektor riil yang kuat ditengarai menyimpan bom waktu yang menunggu momen untuk meruntuhkan capaian-capaian pembangunan ekonomi nasional. Krisis moneter itu juga menyadarkan kita tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigm pembangunan yang tidak menyerahkan sepenuhnya pertumbuhan ekonomi pada peran pengusaha-pengusaha besar, melainkan pada semua pihak terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Salah satu pesan reformasi adalah mengurangi hegemoni pusat terhadap daerah lewat sentralisasi kebijakan di berbagai bidang. Reformasi mengamanatkan perlunya desentralisasi pembangungan dengan memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada daerah. Oleh karena itu lah, sejak tanggal 1 Januari 2001 dimulai pemberlakukan Otonomi Daerah (OTDA).

Otonomi Daerah merupakan keputusan politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik birokratis ke hara desntralistik partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan Otda, yang meletakkan otonomi penuh, luas, dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan itu dimaksudkan untuk menignkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.

Di sini lain, setelah krisis moneter 1997-1998 gerakan ekonomi syariah seperti mendapat blessing in disguise. Ekonomi syariah di Indonesia meskipun telah dimulai sejak awal 1990-an, namun berjalan lambat hingga menjelang terjadinya krisis tersebut. Ekonomi syariah nasional seperti menemukan momentum sejak tahun 1999 hingga sekarang. Pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah juga semakin berkembang termasuk di daerah.seiring dengan itu industri keuangan syariah mengalami percepatan pertumbuhan. Lembaga-lembaga keuangan syariah juga berkembang ke daerah-daerah.

Pertanyaannya, bagaimana peranan ekonomi syariah dalam pembangunan daerah? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sejenak perkembangannya di tanah air.

Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Secara sederhana, perkembangan itu dikelompokkan menjadi perkembangan industri keuangan syariah dan perkembangan ekonomi syariah non keuangan. Industri keuangan syariah relatif dapat dilihat dan diukur perkembangannya melalui data-data keuangan yang ada, sedangkan yang non keuangan perlu penelitian yang lebih dalam untuk mengetahuinya.

Di sektor perbankan, hingga bulan Mei 2007 sudah ada tiga Bank Umum Syariah (BUS), 23 unit usaha syariah bank konvensional, 532 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), dan 106 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Aset perbankan syariah per Mei 2007 lebih dari Rp. 29 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 22,5 Triliun. Meskipun asset perbankan syariah baru mencapai 1,63 persen dan dana pihak ketiga yang dihimpun baru mencapai 1,69% dari total asset perbankan nasional (per April 2007), namun pertumbuhannya cukup pesat dan menjanjikan. Diproyeksikan, pada tahun 2008, share industri perbankan syariah diharapkan mencapai 5 persen dari total industri perbankan nasional.

Di sektor pasar modal, produk keuangan syariah seperti reksa dana dan obligasi syariah juga terus meningkat. Sekarang ini terdapat lebih dari 20 reksa dana syariah dengan jumlah dana kelola mencapai 638,8 miliar rupiah. Jumlah obligasi syariah sekarang ini mencapai 17 buah dengan nilai emisi mencapai 2,209 triliun rupiah.

Di sektor saham, pada tanggal 3 Juli 2000 BEJ meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII). JII yang merupakan indeks harga saham yang berbasis syariah terdiri dari 30 saham emiten yang dianggap telah memenuhi prinsip-prinsip syariah. Data pada akhir Juni 2005 tercatat nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp325,90 triliun atau 43% dari total nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Sementara itu, volume perdagangan saham JII sebesar 348,9 juta lembar saham atau 39% dari total volume perdagangan saham dan nilai perdagangan saham JII sebesar Rp322,3 miliar atau 42% dari total nilai perdagangan saham. Peranan pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku keuangan syariah di Indonesia adalah penerbitan Undang-undang Perbankan Syariah dan Undang-undang Surat Berharga Negara Syariah (SBSN).

Di sektor asuransi, hingga Agustus 2006 ini sudah lebih 30 perusahaan yang menawarkan produk asuransi dan reasuransi syariah. Namun, market share asuransi syariah belum baru sekitar 1% dari pasar asuransi nasional. Di bidang multifinance pun semakin berkembang dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan pembiayaan secara syariah. Angka-angka ini diharapkan semakin meningkat seiiring dengan meningkatnya permintaan dan tingkat imbalan (rate of return) dari masing-masing produk keuangan syariah.

Di sektor mikro, perkembangannya cukup menggembirakan. Lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) terus bertambah, demikian juga dengan aset dan pembiayaan yang disalurkan. Sekarang sedang dikembangkan produk-produk keuangan mikro lain semisal micro-insurance dan mungkin micro-mutual-fund (reksa dana mikro).

Sisi Non-Keuangan

Industri keuangan syariah adalah salah satu bagian dari bangunan ekonomi syariah. Sama halnya dengan ekonomi konvensional, bangunan ekonomi syariah juga mengenal aspek makro maupun mikro ekonomi. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana masyarakat dapat berperilaku ekonomi secara syariah seperti dalam hal perilaku konsumsi, giving behavior (kedermawanan), dan sebagainya. Perilaku bisnis dari para pengusaha Muslim pun termasuk dalam sasaran gerakan ekonomi syariah di Indonesia.

Walau terlihat agak lambat, namun sisi non-keuangan dalam kegiatan ekonomi ini juga semakin berkembang. Hal ini ditandai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku konsumsi yang Islami, tingkat kedermawanan yang semakin meningkat ditandai oleh meningkatnya dana zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun oleh badan dan lembaga pengelola dana-dana tersebut. Di samping itu juga muncul displin-disiplin kesyariahan baru seperti marketing syariah dan manajemen syariah.

Faktor Pendorong

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor pendorong. Secara sederhana, faktor-faktor itu dkelompokkan menjadi faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan ekonomi syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka. Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.

Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan kesadaran di sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim di Indonesia.

Tentu saja, faktor bisnis juga turut mendorong. Pasar Muslim yang sedemikian besar menarik perhatian kalangan pebisnis terutama di sektor keuangan untuk menawarkan produk-produk keuangan syariah. Di samping itu, faktor politis juga turut bermain. Membaiknya ”hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip syariah.

Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah (holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi.

Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika ”badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia. Di samping itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong mereka untuk terjun ke bisnis syariah.

Implikasi Bagi Perkembagan Ekonomi Nasional

Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.

Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.

Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).

Industri Perbankan dan Pembangunan Ekonomi Daerah

Persoalan yang seringkali dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit atau pembiayaan dari Bank. Ada banyak alas an mengapa bank “agak pelit” menyalurkan kredit seperti prinsip kehati-hatian (prudential) yang harus dipegang oleh bank sehingga para pebisnis dibagi menjadi dua, bankable dan non-bankable. Celakanya, sebagian besar UMKM masuk kategori yang kedua ini.

Di samping persoalan itu, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Hingga tidak heran, dana-dana pembangunan daerah yang seharusnya digunakan untuk pengembangan ekonomi daerah ikut ditanam di SBI karena ketidakkreatifan pemerintah daerah dan para bankernya mencari dan merangsang potensi-potensi ekonomi di daerahnya. menurut suatu sumber, dana desentralisasi yang ditanam di SBI jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sekitar Rp43 triliun atau mencapai 19,5 persen dari total dana yang dibagikan ke daerah dalam bentuk dana desentralisasi senilai total Rp220,07 triliun.

Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.

Perbankan Syariah Sebagai Alternatif

Sebagaimana jamak diketahui, keuangan syariah adalah yang tidak mengenal rezim bunga. Sebagai gantinya, ekonomi Islam menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) melalui skema mudharabah atau musyarakah. Di samping itu, kelahiran ekonomi syariah antara lain ditujukan untuk menggerakkan ekonomi umat yang sebagian besar berada di kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, perbankan syariah sebagai bentuk implementasi konsep ekonomi syariah juga mempunyai spirit yang sama yaitu keberpihakan kepada sektor riil terutama usaha menengah ke bawah.

Mengingat bank syariah adalah bank tanpa bunga, maka ia tidak dapat mengharapkan bunga SBI sebagaimana bank-bank konvensional lainnya. Demikian juga, dana nganggur (idle money) di bank-bank syariah tidak dapat diinvestasikan pada instrumen-insturmen keuangan berbasis bunga lainnya. Oleh karena itu, bank syariah harus berpikir keras untuk menyalurkan dana yang dipegangnya ke sektor non-bunga yang berbasis bagi hasil, margin, atau fee.

Kinerja perbankan syariah selama ini menunjukkan tersalurnya dana yang dihimpun dari masyarakat ke usaha yang membutuhkan dana. Data yang dirilis Bank Indonesia selalu menunjukkan bahwa rasio pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau FDR selalu berkisar di angka 100 persen bahkan lebih. Hal ini berarti, fungsi intermediasi yang dijalankan perbankan syariah berjalan dengan baik. Persoalannya, dana yang dihimpun oleh industri keuangan syariah masih sangat sedikit dibanding dengan total asset perbankan nasional. Hingga saat ini rasio asset perbankan syariah terhadap perbankan total asset perbankan nasioal belum berhasil menembus angka 2 persen. Artinya, meskipun FDRnya tinggi namun karena angkanya masih sangat kecil, maka pengaruhnya terhadap ekonomi nasional belum begitu terasa, meski banyak bukti di lapangan yang membuat kita sedikit bernafas lega.

Semangat kelahiran industri keuangan syariah di samping untuk memenuhi dahaga masyarakat terhadap produk keuangan syariah, juga untuk ikut mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat dengan mengangkat taraf ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu lah, di dalam keuangan syariah di kenal lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan pebisnis dan wirausaha kecil. Bank-bank syariah yang tidak dapat menyentuh level bisnis terendah ini karena berbagai peraturan yang harus ditaati dapat bermitra dengan BMT-BMT dan BPRS yang telah ada dalam penyaluran pembiayaan dan penghimpunan dana masyarakat.

Pengembangan Bank Syariah di Indonesia jelas bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak sekedar menjual jasa atau produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi ”bekerjasama dengan klien” untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan kehidupan ekonomi klien. Di Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah atau Lumbung Piteh Nagari di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah besama klien, adalah Bank-bank etik yang dimaksud. Namun sayangnya sejak liberalisasi perbankan 1983, 1988, dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau “dikerdilkan”. Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum teratasi telah memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia perbankan Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan sistem perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik Bank, bukan kepetingan klien dan masyarakat luas.

Implikasi Ekonomi Syariah terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah

Industri keuangan syariah di tanah air mendekati usia 20 tahun. Sudah banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat ekonomi syariah Indonesia untuk mengembangkan sistem ekonomi alternatif ini yang diyakini lebih adil dan mensejahterakan. Lembaga-lembaga pendukung pun semakin berkembang termasuk lembaga-lembaga pendidikan ekonomi syariah yang sudah ada hampir di semua provinsi. Lembaga-lembaga keuangan syariah pun juga sudah hampir merata di seluruh nusantara. Tinggal sekarang mengembangkan industri keuangan syariah dan lembaga-lembaga pendukungnya berikut peraturan perundang-undangan yang memberikan rambu-rambu bagi pelaku ekonomi syariah.

Jika demikian halnya, bagaimana pengaruh ekonomi syariah terhadap pembangunan ekonomi daerah? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam. Yang dapat kita kemukakan di sini adalah beberapa indikator yang dapat menunjukkan adanya peranan ekonomi syariah terhadap pembangunan daerah.

Indikator pertama yaitu semakin banyaknya bank-bank syariah nasional yang membuka cabang di daerah-daerah. Pembukaan kantor-kantor cabang ini tentu membawa implikasi bagi pembangunan ekonomi setempat karena adanya aktivitas intermediasi yang dilakukan perbankan syariah yaitu menyalurkan dana dari pihak yang surplus ke pada pihak yang shortage.

Di samping bank-bank syariah nasional, baik bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS), bank-bank pembangunan daerah juga ramai-ramai membuka unit usaha syariahnya. Saat ini sudah ada 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang membuka UUS dan akan disusul oleh BPD-BPD lainnya. Perkembangan ini diharapkan akan meningkatkan geliat pembangunan ekonomi daerah melalui sistem keuangan syariah.

Hal selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro dan kecil syariah seperti BMT, Koperasi Syariah, dan BPRS yang juga hampir merata sebarannya di seluruh tanah air. Tentu sudah banyak perananan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah ini dan sudah banyak pula pengaruhnya bagi perbaikan ekonomi daerah.

lembaga-lembaga ini rajin melalukan sosialisasi ekonomi syariah kepada masyarakat. Ekonomi syariah adalah suatu konsep ekonomi yang mengajarkan kewirausahaan dan investasi yang etis kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dididik untuk menjadi entreprenur-entreprenur sejati yang berjuang mengangkat taraf hidupnya dan masyarakat lainnya ke arah yang lebih baik.

Yang kurang sekarang adalah dukungan dari pemerintah terhadap ekonomi syariah itu sendiri. Ekonomi syariah masih dipandang sebelah mata dan tidak dijadkan sebagai hal yang utama. Padahal sudah banyak bukti yang menunjukkan peranan ekonomi syariah dalam mengangkat ekonomi rakyat. Untuk itu, kita membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari pemerintah bagi pengembangan ekonomi syariah di tanah air.

Mungkin kita perlu belajar banyak dari pemerintah Malaysia yang memberikan dukungan yang besar bagi ekonomi syariah di sana. Sehingga tidak heran, kita masih jauh tertinggal dari negeri jiran itu dalam bidang keuangan syariah.

Penutup

Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global.

Ekonomi syariah telah membuktikan sumbangannya bagi pengembangan ekonomi daerah. Meski masih relatif kecil namun bukan tidak berharga sama sekali. Ekonomi syariah telah mengajarkan pentingnya kemandirian, kerja keras, semangat entrepreneurship, good governance, dan penerapan nilai-nilai syariah dalam berekonomi. Semua hal ini diperlukan bagi tercapainya cita-cita Proklamasi 1945 untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Semoga.

____________________

Penulis adalah staf pengajar STEI Tazkia dan Associate Partner di Batasa Tazkia Consulting

Prinsip syariah dalam koperasi

Muslimin Nasution PMB 59

Presidium ICMI Ahli Peneliti Utama Kementerian Koperasi dan UKM

Keberhasilan memajukan perekonomian rakyat telah ditunjukkan oleh koperasi-koperasi di banyak negara. Saat ini, 80 persen listrik di wilayah pedesaan di AS disediakan koperasi. Sekitar 90 juta dari 235 juta warga AS menjadi anggota koperasi, dengan kekayaan lebih dari 73 miliar dollar AS. Koperasi bahkan mempertahankan perekonomian rakyat AS sewaktu terjadi resesi dunia tahun 1930 dan memperkuat ekonomi pasacaperang. Di wilayah pedesaan di negara tersebut, koperasi-koperasi pertanian membantu para petani bertahan dari depresi ekonomi. Sementara di kota-kota, koperasi membantu membangun kembali perumahan rakyat yang hancur semasa perang. Demikian pula di Kanada, 40 persen warganya adalah anggota koperasi, dengan kekayaan lebih dari 45 miliar dollar AS. Dari Kanada pulalah lahir Credit Union, koperasi kredit terbesar di dunia saat ini. Tiga perempat produk susu yang dikonsumsi dunia berasal dari koperasi peternak sapi perah di Australia dan Selandia Baru. Di Jepang dan negara-negara Skandinavia, tidak ada usaha di sektor pertanian yang tidak dikelola koperasi. Anak-anak di daerah pedesaan Kolombia belajar mengenal komputer di sekolah milik koperasi pertanian. Keluarga-keluarga di Swedia tinggal di rumah-rumah nyaman yang dibangun oleh koperasi perumahan. Di Jerman, masyarakat biasa membeli barang kebutuhan sehari-hari di toko-toko milik koperasi. Di Inggris, konsumen bisa membeli asuransinya melalui koperasi. Co-operative Insurance Service menjadi salah satu perusahaan asuransi terbesar di sana. Di Belanda, masyarakat menabung di bank-bank milik koperasi. Rabo Bank milik koperasi petani bahkan sanggup mendirikan cabang-cabangnya di banyak negara. Manfaat kolektivitas Tujuan koperasi yang utama adalah memenuhi kebutuhan hidup anggota-anggotanya, dengan jalan menyelenggarakan aktivitas ekonomi secara bersama-sama. Kolektivitas adalah kekuatan koperasi. Maju mundurnya sebuah koperasi ditentukan oleh seberapa mampu para anggotanya mempertahankan kolektivitas itu. Kolektivitas (jamaah) adalah anjuran syariah. Betapa pentingnya kolektivitas itu sehingga dalam ibadah ritual pun seperti shalat lima waktu, umat Muslim diperintahkan untuk mengerjakannya secara bersama-sama. Kolektivitas adalah modal sosial yang amat diperlukan untuk mencapai kemajuan. Betapapun umumnya perekonomian rakyat berukuran dan bermodal kecil, jika mereka bersatu maka mereka akan kuat. Manfaat yang paling mudah terlihat dari kolektivitas itu adalah penghematan. Misalnya, anggota koperasi konsumen, pasti mengeluarkan biaya lebih sedikit untuk memperoleh suatu barang dibandingkan ia membelinya dari luar koperasi. Manfaat lainnya adalah peningkatan nilai tambah. Contoh, suatu barang yang harganya rendah kemudian bertambah nilainya karena penggunaan alat produksi tertentu. Dalam keadaan sendiri-sendiri para produsen tidak bisa mengadakan alat produksi itu karena harganya tidak terjangkau. Tapi setelah berkoperasi, mereka mampu mengadakannya, karena harga alat produksi yang mahal itu menjadi terjangkau dengan ditanggung bersama. Agar semangat kolektivitas ini tetap terjaga, koperasi berpedoman kepada tujuh prinsip dalam usahanya. Pertama, keterbukaan, bahwa siapapun bisa menjadi anggota koperasi tanpa memandang agama, etnis, afiliasi politik, dan perbedaan lainnya. Prinsip ini adalah perwujudan dari perintah syariah agar perbuatan manusia menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kedua, keadilan, bahwa distribusi manfaat ekonomi di kalangan anggota harus sesuai dengan kekerapan si anggota menggunakan jasa koperasi, bukan berdasarkan proporsi modal anggota dalam koperasi. Dengan kata lain, dalam koperasi, setiap orang memperoleh hasil ekonomi sesuai dengan usahanya. Semakin sering anggota memanfaatkan jasa koperasinya, artinya semakin rajin ia bekerja, maka semakin besar hasil ekonomi yang diperolehnya. Anggota yang pasif tidak akan mendapat apa-apa. Prinsip ini bertolak belakang dengan prinsip kapitalis yang berbasis pada kumpulan modal. Ketiga, penghormatan terhadap kemanusiaan. Dalam syariah, manusia adalah makhluk paling mulia. Karena itu, ‘kerja’ sebagai wujud kemanusiaan, harus lebih dihargai dibandingkan ‘modal’ sebagai wujud harta. Dalam koperasi, prinsip ini diberlakukan dengan cara membatasi keuntungan dari saham yang ditanamkan anggota di koperasi. Dengan prinsip ini, pengaruh harta dibatasi, tetapi tidak, dengan pengaruh kerja. Anggota memperoleh manfaat dari koperasi sebanding dengan kerjanya, bukan dengan modal yang disimpannya di koperasi. Keempat, otonomi, yaitu anggota mengendalikan sepenuhnya ke arah mana dan bagaimana usaha koperasi diselenggarakan. Otonomi adalah bentuk lain dari kemerdekaan atau kebebasan. Syariah memandang kemerdekaan atau kebebasan sebagai bagian asasi dalam kehidupan manusia. Ini tidak terdapat dalam perusahaan kapitalistik, di mana pada umumnya kebebasan hanya dimiliki majikan, sementara buruh terikat oleh berbagai peraturan yang wajib dipenuhi, yang tak jarang peraturan itu merendahkan derajat kemanusiaan mereka. Kelima, kebebasan mengemukakan pendapat atau keinginan. Dalam koperasi prinsip ini disebut satu orang satu suara. Prinsip ini tidak berarti segala keputusan diambil dengan jalan voting. Justru kecenderungan dalam koperasi, prinsip satu orang satu suara ini diterapkan melalui musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh anggotanya. Keadaan ini hanya bisa berlaku jika ada kesetaraan. Dalam koperasi tidak ada buruh dan majikan. Yang ada hanyalah persekutuan orang yang setara untuk menyelenggarakan aktivitas ekonomi bersama. Keenam, pendidikan anggota, yaitu pendidikan untuk menanamkan karakter positif seperti sifat tekun, pantang menyerah, aktif melakukan inovasi, solider terhadap sesama, serta karakter lain yang diperlukan untuk kemajuan, sekaligus pendidikan untuk mengasah wawasan dan keahlian anggota dalam mengelola koperasinya. Kiranya tak perlu diuraikan lagi bahwa syariah sangat memuliakan kegiatan pendidikan semacam ini. Ketujuh, kerja sama aktif antarsesama koperasi. Ikhtiar untuk mencapai perbaikan ekonomi pasti menghadapi banyak tantangan. Semakin berat tantangannya akan semakin sulit dihadapi sendirian. Karena itu satu koperasi harus merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama yang solid dengan koperasi lainnya. Merapatkan barisan, atau bersatu dengan pengorganisasian yang baik, adalah prinsip syariah yang utama dalam kehidupan sosial. Syariah sama sekali tidak menganjurkan prinsip yang sebaliknya, yaitu berpecah-belah, apalagi persaingan untuk saling menjatuhkan. Tujuh prinsip koperasi tersebut nyata-nyata merupakan perwujudan dari syariah Islam. Undang-undang tentang Koperasi No 25 tahun 1990 dibangun dari UUD 45. Konstitusi tersebut memuat akidah Ketuhanan yang Maha Esa yang merupakan landasan dari Tauhid. Selain itu juga banyak bukti telah menunjukkan bahwa kemanfaatan koperasi telah dirasakan masyarakat di berbagai belahan dunia. Masih perlukah kita mencari bangun ekonomi syariah yang lain? Ikhtisar - Masyarakat di banyak negara maju telah merasakan manfaat keberadaan koperasi. - Kolektivitas menjadi prinsip dasar yang memberi banyak keuntungan bagi para anggota koperasi. - Prinsip kolektivitas ini, pada dasarnya juga merupakan prinsip yang dianjurkan syariah. - Secara tegas, keberadaan prinsip tersebut membuat koperasi menjadi sama sekali berbeda dari lembaga ekonomi berbasis kapitalis.

Tujuan Keuangan Syariah

Oleh : Nuruddin Mhd Ali, MA, M.Sc. STEI TAZKIA
Suatu hari Rasulullah saw menyampaikan ceramah tentang kepastian datangnya Hari Pembalasan dan pengadilan manusia atas semua yang tingkah lakunya selama di dunia di hadapan Allah SWT. Selesai mendengarkan ceramah tersebut, bebrapa orang sahabat berkumpul di rumah Usman bin Maz’un dan memutuskan untuk berpuasa setiap hari, shalat sepanjang malam, tidak tidur di kasur, tidak akan memakan daging atau makanan berlemak, tidak akan mendekati wanita dan memakai wewangian, tidak akan memakai pakaian mewah, dan secara umum menolak kelezatan dunia. Berita ini didengar oleh Rasulullah dan kemudian beliau berkata kepada mereka, “Aku tidak diperintahkan oleh Allah untuk hidup dengan cara ini. Tubuh kalian memiliki hak tertentu; jadi berpuasalah tapi juga berbukalah! Shalatlah di waktu malam, tapi juga tidurlah! Lihatlah aku! Aku shalat di waktu malam tetapi juga tidur; aku berpuasa tetapi juga berbuka. Aku makan daging dan lemak, dan aku juga menikah. Jadi siapa pun yang menyimpang dari caraku (sunnahku), maka dia bukan termasuk golonganku.”

Hadis di atas menggambarkan bahwa agama Islam bukanlah agama yang hanya memfokuskan diri pada urusan-urusan spiritual dan melupakan kesejahteraan duniawi. Islam bukanlah agama asketik yang melarang untuk menikmati karunia yang telah diberikan Allah SWT. Dalam Surat Al-A’raf (7) ayat 32 Allah berfirman:

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada larangan untuk menikmati karunia Allah SWT. Namun demikian, sebaliknya Islam melarang pula umatnya untuk terlalu memperturutkan kelezatan dunia dan melupakan bekal ke akhirat kelak. Ajaran Islam mengajarkan untuk menyeimbangkan kesejahteraan jangka pendek (dunia) dan kesejahteraan jangka panjang (akhirat). Dalam surat Al-Qasash ayat 77 Allah memerintahkan manusia untuk berusaha memperoleh kebahagiaan di akhirat tanpa harus mengorbankan kesejahteraan di dunia.

Jika demikian halnya, tuntutan Islam tentang kesejahteraan di dunia bersifat unik karena berusaha memadukan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi. Persoalannya sekarang, apa tujuan perekonomian dalam agama Islam? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengelola perekonomian untuk mencapai kedua hal tersebut? Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kedua persoalan ini.

Persoalan Ekonomi

Dalam berbagai text book ilmu ekonomi konvensional disebutkan bahwa ada satu persoalan ekonomi yang paling mendasar yaitu persoalan scarcity (kelangkaan) sumberdaya ekonomi. Artinya, sumberdaya ekonomi yang tersedia sangat terbatas (limited resources), sementara ragam kebutuhan manusia tidak terbatas (unlimited wants). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antara keduanya. Seandainya kesenjangan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan mengalami permasalahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, ilmu ekonomi bertujuan untuk mengatasi persoalan scarcity ini agar dapat memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.

Menurut ekonomi konvensional, keinginan manusia yang bersifat tak terbatas ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah dari sononya (given) sehingga tidak perlu dipersoalkan. Dengan pandangan seperti ini, persoalan yang perlu dipecahkan adalah soal kelangkaan sumber daya tadi yang harus diolah dan dipergunakan seefisien mungkin.

Menurut pandangan beberapa ekonom Muslim, persoalan mendasar bukanlah soal keterbatasan sumber daya ekonomi, tetapi adalah soal distribusi dan keinginan manusia yang tidak terbatas itu sendiri. Allah SWT telah menciptakan alam dan segala isinya secara melimpah namun belum terdistribusikan dengan baik oleh manusia akibat keserakahan sebagaian manusia yang menyebabkan sebagian manusia lainnya tidak memperoleh bagian dengan cukup. Menurut mereka, sumber daya ekonomi yang terdapat di alam semesta sangat banyak dan relatif tidak terbatas, sementara kebutuhan manusia sesungguhnya terbatas. Dengan kata lain, unlimited resources berhadapan dengan limited wants.

Allah menciptakan alam semesta ini sedemikian rapinya sehingga terdapat keseimbangan antara sumber daya dan kebutuhan manusia itu sendiri. Lihat misalnya firman Allah:

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin …” QS. 31: 20).

Juga firman-Nya:

“ … dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. 25: 2).

Lihat juga QS. 51: 47; 45: 13.

Tujuan Ekonomi dalam Islam

Dalam pandangan Islam, manusia bukanlah makhluk yang dikutuk karena membawa dosa turunan (original sin), tetapi merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi (QS. 2:30). Allah SWT menciptakan bumi dan segala isinya untuk manusia (QS. 2:29) dan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola sumber daya ekonomi yang tersedia di alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun peradaban manusia ke arah yang lebih baik.

Manusia diberi kebebasan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan melakukan transaksi perekonomian sesama mereka (muamalah). Mengenai muamalah (kegiatan ekonomi) tersebut terdapat kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “Hukum ashal (awal/asli) dari muamalah adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang menyatakan sebaliknya. Artinya, segala kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil nash (Al-Quran dan sunnah). Dengan kata lain, kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk tujuan tertentu yang sejalan dengan ajaran Islam.

Menurut Muhammad Umar Chapra, salah seorang ekonom Muslim, tujuan-tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam.

Pertama, kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas norma-norma moral Islami. Agama Islam membolehkan manusia untuk menikmati rezeki dari Allah namun tidak boleh berlebihan dalam pola konsumsi (QS. 2:60, 168, 172; 6:142; 7:31, 160; 16:114; 20:81; 23:51; 34:15; 67:15).

Di samping itu Allah SWT mendorong umat-Nya untuk bekerja keras mencari rezeki setelah setelah melakukan shalat Jum’at (QS. 62:10). Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia seperti bertani, berdagang, dan usaha-usaha halal lainnya dianggap sebagai ibadah. Hal ini menujukkan bahwa usaha untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik harus menjadi salah tujuan masyarakat Muslim.

Kedua, tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal. Islam menginginkan terbinanya tatanan sosial di mana semua individu mempunyai rasa persaudaraan dan keterikatan layaknya suatu keluarga yang berasal dari orangtua yang sama (QS. 49:13). Dengan demikian, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia jangan sampai menimbulkan rasa permusuhan, peperangan, dan ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang masih banyak dijumpai pada saat ini. Dengan adanya rasa persaudaraan sesama umat manusia, tidak akan timbul perebutan sumber-sumber ekonomi dan yang timbul adalah bertolong-tolongan untuk kesejahteraan bersama (QS. 5:2).

Ketiga, distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan. Oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi tidak dibenarkan dalam Islam. Ketidakmerataan ekonomi tersebut hanya akan meruntuhkan rasa persaudaraan antar sesama manusia yang ingin dibina oleh Islam. Menurut ajaran Islam, semua sumber daya yang tersedia merupakan ’karunia Allah SWT yang diberikan kepada semua manusia’ (QS. 2:29), sehingga tidak ada alasan kalau sumberdaya ekonomi itu hanya terkonsentrasi pada beberapa kelompok manusia (QS. 59:7).

Pemerataan tersebut dapat dilakukan melalui zakat, infak, shadaqah, wakaf, dan transaksi-transaksi halal lainnya yang dikelola dengan baik sesuai dengan spirit yang dikandungnya.

Keempat, tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan sosial. Salah satu misi yang diemban oleh Muhammad saw adalah untuk melepaskan manusia dari beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka (QS. 7:157). Khalifah Umar bin Khatab mengatakan, ”Sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” Imam Syafii juga mengatakan, ”Allah menciptakan kamu dalam keadaan merdeka, oleh karena itu jadilah manusia yang merdeka.” meskipun demikian, kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial haruslah dalam batas-batas yang ditentukan oleh Islam. Artinya kebebasan itu jangan sampai berkonflik dengan kepentingan sosial yang lebih besar dan hak-hak orang lain.

Wallahu a’lamu bisshawab.

Konsep Gadai Syariah (Ar-Rahn) Dalam Fiqh

oleh : Ruslan Abdul Ghafur


Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[1] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[2]

Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[3] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[4]

Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[5] Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[6]

Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[7] Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[8]

Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn. Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.



Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rudy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[9]

Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.

Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

Agar lebih jelasnya perbedaan pendapat para ulama mengenai pemanfaatan barang gadai akan dipaparkan sebagai berikut:



1. Pendapat Imam Syafii

Dalam kitab al-Um’nya Imam Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang jaminan sebagai berikut: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai.”[10]

Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama Safiiyah bahwa orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai, Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad, tetapi jika mengambil manfaatnya itu diizinkan oleh orang yang menggadai maka itu diperbolehkan.[11]

Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini pada hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan resikonya (kerusakan dan biaya)”. Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis di atas yakni bahwa yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah pemiliknya dan bukan orang yang menerima gadai.[12]

Dari penjelasan dan dasar syar’i yang digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah di atas dapat diartikan bahwa manfaat barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan orang yang menerima barang gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi barang jaminan sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada si pegadai dan dapat memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.



2. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)

Ulama Malikiyah dalam hal pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang menggadaikan, dan hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai tidak mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan beberapa syarat:

a. Utang terjadi karena jual beli dan bukan karena menguntung-kan.

b. Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya.

c. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan waktunya harus ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah (Sayyid Sabiq, hal. 188).

Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.

Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya (menggadainya). Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya pemanfaatan barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam Syafii atau ulama Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai (orang yang mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah sebagai berikut:

Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang dan kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).



3. Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah)

Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan pada jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut hewan atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak. Jika barang yang digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang gadai. Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang. (Sayyid Sabiq, hal. 189)

Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan refrensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan.

peradilan agama dan sengketa ekonomi syariah

Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tumbuh pesat di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal dengan instrumennya obligasi dan reksadana syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dll. Menurut data Bank Indonesia (Mei 2005), jumlah nasabah /deposan perbankan syariah lebih dari 2 juta orang, sedangkan jumlah nasabah pembiayaan sekitar 300.000an orang. Data itu belum termasuk nasabah asuransi, pegadaian, pasar modal dan dana pensiun syariah. Juga belum termasuk nasabah Baitul Mal wat Tamwil yang mencapai dari 3 juta orang. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi syariah.Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini kasusnya selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 3/2006, tentang Peradilan Agama perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan Agama, yaitu bidang: Perkawinan, Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No 3/2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu lakukan amandemen.Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara ortang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, b. Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. Asuransi syari’ah, d. Reasurasi syari’ah, e. Reksadana syari’ah, f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. Sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah k. Bisnis syari’ah. Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Pengadilan Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan konvensional. Maka sangat aneh, jika masalah syariah diselesaikan secara konvensional, bukan secara syariah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.Amandemen ini memang dirasakan sangat penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syari’ah bergerak cepat, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, lembaga keuangan mikro syariah (BMT), pergadaian syari’ah, dsb. Selama ini, banyak kasus sengketa ditangani oleh Basan Arbitrase Syariah Nasioal (Basyarnas), sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara ”terpaksa” harus memilih lembaga Basyarnas untuk menyelesaikannya. Setiap draft kontrak syariah telah memuat klausul Basyarnas. Keharusan ke Basyarnas karena belum dikeluarkannya UU No3/2007. Tetapi setelah keluarnya Undang-Undang tersebut, harus dibuka peluang seluas-luasnya kepada Pengadilan Agama untuk menadilinya, sehingga tidak menjadi monopoli Basyarnas.Selain itu, sering pula ditemukan redaksi akad yang membuka dualisme hukum yang sangat menyesatkan. Banyak bank-bank yang syariah yang menyebutkan dalam akadnya, bahwa jika terjadi perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase syariah atau Pengadilan Negeri. Hal ini menyesatkan, karena jika para pihak sudah menentukan dan memilih lembaga arbitrase, maka sudah tertutup peluang kepada Pengadilan Negeri. Pilihan tersebut harus tegas, apakah arbitrase atau pengadilan Negeri. Jika para pihak memilih pengadilan Negeri, hal inipun tidak tepat, tidak relevan dan jelas tidak sesuai syariah. Dengan keluarnya UU No 3/2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama, kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Satu hal lagi yang menjadi catatan penting adalah masalah eksekusi. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama (Syariah). Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999. Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya UU No 3/2006. Dengan kata lain, Undang-Undang arbitrase harus diamandemen.Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 ini juga membawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syari’ah saat ini. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan amandemen ini maka klasul tersebut seharusnya dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah. harus diubah.Klausul tersebut juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh fatwa DSN MUI. Dalam fatwa DSN MUI dan PBI disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PBI yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya. Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta kehilangan peran, sebab jika para phak memilih badan ini menyelesaikan kasusnya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga atbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada Undang-Undang No 3/2006. Tetapi, setelah Undang-Undang No3/2006 lahir, maka lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi monopoli lembaga arbitrase. Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat memilih Lembaga Badan Abitrase.Klausul keharusan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah sebuah kesalahan fatal. Sama fatalnya, jika setiap transaksi bisnis non syariah harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase konvensional yang disebut BANI, bukan Pengadilan Umum. Silakan lihat bunyi klausul kontrak bisnis konvensonal, apakah semuanya ada klausul diselesaikan lembaga Arbitrase,? Dan tertutup bagi pengadilan?.Jawabannya jelas tidak. Karena itu, hal yang sama harus diterapkan juga di dalam bunyi kontrak syariah.Lima MasukanDengan keluarnya UU No 3/2006, ada lima masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian.Pertama, jika terjadi sengketa di bidang ekonomi syari’ah, penyelesaian perkaranya tidak boleh dibatasi (dikunci) hanya oleh lembaga arbitrase syariah (BASYARNAS). Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan Arbiotrase Syariah nasional, hendaknya dihilangkan. Kedua, Oleh karena seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsyiah) perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) siap melakukannya bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan Workshop dan Training tersebut.Ketiga, Dalam RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang akan segera disahkan harus dimasukkan sebuah pasal yang menyebutkan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam masalah perbankan syariah, harus diselesaikan di Peradilan Agama. Jadi bukan di pengadilan Umum atau Badan Arbitrase. DPR jangan sempat melupakan klausul ini agar kedua Undang-Undang tersebut sinkron dan tidak bertentanganKeempat, dengan disahkannya UU No3/2006 ini, maka semua perundang-undangan yang terkait harus menyesuaikan (diamandemen), walaupun pasal yang diamendemen hanya satu pasal. Undang-Undang yang perlu dimandemen tersebut antara lain :

1. Undang-Undang Arbitrase,
2. Undang-Undang Pasar Modal,
3. Undang-Undang tentang Asuransi,
4. Undang-Undang tentang Pegadaian,
5. Undang-Undang No 17/2000 tentang PPn, dsb.
6. Undang-Undang Resi Gudang,dsb

Kelima, diperlukan perubahan (penambahan) materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum Islam, yaitu perkawinan, Warisan dan Waqaf. KHI yang menjadi rujukan hukum para hakim agama itu perlu menambah materi hukum ekonomi Islam (muamalah).

Senin, 13 April 2009

Koperasi Syariah Akan Diatur UU Koperasi
JAKARTA -- Keberadaan dan aturan mengenai Koperasi syariah akan diatur dalam amandemen Undang-Undang (UU) Koperasi No 25 Tahun 1992. Karena itu, Koperasi syariah tidak akan masuk dalam pembahasan RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk dibahas DPR RI. Saat ini, amandemen RUU hasil inisiatif pemerintah tersebut telah masuk dalam agenda badan legislatif nasional (Balegnas) untuk masuk dalam program legislatif nasional (Prolegnas) tahun ini.
Menurut Deputi Menteri Bidang Pengembangan Kelembagaan Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KKUM), Marsudi Rahardjo, bisnis Koperasi syariah di Indonesia terus berkembang cukup signifikan dalam lima tahun terakhir. Bahkan, pengembangan bisnis Koperasi berbasis non bunga itu diyakini akan menjadi tren dalam beberapa tahun mendatang.
Namun, kata Marsudi, hingga saat ini Koperasi syariah belum diatur dalam UU. ''Saya kira ini (Koperasi syariah, Red) sesuatu yang baru dalam lima tahun terakhir. Saya melihat trennya terus menaik. Masyarakat yang tidak pas dengan sistem konvensional kemudian mengakses Koperasi jasa simpan pinjam syariah atau koperasi biasa tapi yang berbasis syariah,'' kata dia kepada Republika usai menghadiri rapat tahunan Induk Koperasi Syirkah Muawanah (Inkopsim) PBNU, Jumat, (15/2) sore.
Untuk mengatasinya, sambung Marsudi, KKUM memutuskan menerbitkan peraturan menteri (Permen) tahun lalu. Peraturan tersebut menjadi peraturan sementara yang mengatur tata cara pendirian dan operasi bisnis Koperasi syariah. ''Kita sudah atur secara lengkap dalam Permen tersebut untuk menjadi pegangan bagi pengelolan koperasi syariah,'' ujar dia.
Hanya saja, kata Marsudi, permen tidak memiliki kekuatan hukum sebagaimana UU. Karena itu, untuk mendukung perkembangan bisnis Koperasi syariah di Indonesia, KKUM menginginkan agar Koperasi syariah masuk dalam amandemen RUU Koperasi. Saat ini, lanjut dia, DPR masih membahas RUU UMKM dan diharapkan selesai pertengahan tahun ini.
Selanjut, sambung Marsudi, barulah dibahas amandemen UU Koperasi. Ia berharap, amandemen tersebut bisa selesai dan diundangkan akhir 2008. Dijelaskan Marsudi, Koperasi syariah tidak akan masuk dalam RUU LKM yang diusung oleh DPD karena Koperasi syariah memang telah direncanakan masuk dalam amandemen RUU Koperasi. Tujuannya, kata dia, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengawasannya.
Mengenai baitulmalwatamwil (BMT), Marsudi menuturkan bahwa pihaknya tidak menangani lembaga mikro syariah itu. ''Tapi, sepanjang BMT itu berbadan hukum Koperasi, itu kewenangan kami untuk membina termasuk dalam UU,'' kata dia.
Menyinggung mengenai penghimpunan dana masyarakat, Marsudi berharap agar Koperasi syariah melaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Pasalnya, hingga kini terdapat sejumlah Koperasi konvensional yang melakukan penghimpunan dana masyarakat tanpa menjadikan mereka sebagai anggota terlebih dahulu. Hal itu, kata dia menegaskan, bertentangan dengan UU Perbankan dan dapat dituntut secara hukum. ''Kalau Koperasi syariah saya belum pernah dengar. Karena itu, saya berharap hal ini tidak terjadi pada koperasi syariah,'' cetus Marsudi.
Ketua Umum Yayasan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk), Muhammad Amin Aziz, mengaku tidak mempermasalahkan tidak masuknya Koperasi syariah atau BMT berbadan hukum Koperasi dalam RUU LKM. Alasannya, sejak wal Pinbuk mengharapkan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) tersebut masuk dalam amandemen RUU Koperasi.
Mengenai penghimpunan dana masyarakat, Amin mengungkapkan, Koperasi syariah umumnya mengajak masyarakat menjadi anggota sebelum melakukan penjaringan dana maupun dalam penyaluran pembiayaan. Saat ini, menurut Amin, jumlah BMT di Indonesia tercatat sekitar 3.200 buah. Aset mereka saat ini diestimasi mencapai Rp 3,2 triliun. Hingga akhir tahun ini ditargetkan aset mereka bisa tumbuh menjadi Rp 2,8 triliun. Target ini ditetapkan berdasarkan peluang semakin berkembangnya pembiayaan pertanian melalui BMT.
Selain itu, sambung Amin, pembiayaan perumahan syariah oleh BMT tahun ini juga akan meningkat tajam. Pasalnya, BMT dilibatkan sebagai mitra Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dalam menyalurkan pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). aru
(Sumber : www.republika.

Senin, 06 April 2009

Welcome To Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Strategi Percepatan Pertumbuhan Bank Syariah
2008-08-29
Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan syariah; berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didamba. Begitu juga dengan hadirnya UU SBSN maka diharapkan akan menarik para investor asing, terutama investor Timur Tengah untuk berinvestasi di Indonesia. Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat memacu denyut perekonomian nasional, dan kontribusi dalam mengentaskan kemiskinan, kesejahteraan rakyat, serta membuka lapangan kerja ditambah lagi UU Perbankan Syariah memperkuat fundamen hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah mengungkapkan, dengan disahkannya RUU perbankan syariah menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah maka target pangsa pasar perbankan syariah sebesar lima persen pada 2010 dapat tercapai. Hingga saat ini aset perbankan syariah hanya 1,7 persen dari total aset perbankan nasional atau sekitar Rp 40 triliun. UU Surat Sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dinilai berpotensi untuk menggantikan Surat Utang Negara (SUN) konvensional sebagai instrumen defisit anggaran pemerintah. Hal ini terlihat dalam mekanisme underlying asset, perhitungan bagi hasil dan proyek-proyek yang akan dibiayai. Sebaliknya, SUN konvensional cenderung tidak transparan dan cenderung spekulatif. Untuk mencapai target 5 persen pada 2010, Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah menyatakan aset perbankan syariah harus mencapai sekitar Rp 90 triliun. Dengan asumsi inilah dapat menjadi relevansi prospektus perbankan syariah, dengan asumsi dan langkah-langkah akselerasi maka pertumbuhan asset, DPK dan pembiayaan industri perbankan tahun 2008 diproyeksikan akan mencapai volume asset, DPK dan pembiayaan sesuai program akselerasi yaitu masing-masing sebesar Rp. 91,6 triliun, Rp. 73,3 triliun dan Rp. 68,9 triliun.
Percapaian share asset perbankan syariah sebesar 5 % merupakan anchor yang seyogianya menjadi semangat semua pihak, untuk bekerja keras dan berkontribusi secara lebih konkret. Mengenai perkembangan komposisi pembiayaan didominasi oleh pembiayaan berbasis murabahah (57,6%), namun share pembiayaan berbasis bagi hasil terus meningkat. Secara konkret langkah-langkah percepatan pertumbuhan bank syariah tertuang dalam API dan Blueprint perkembangan perbankan syariah serta jangka pendek dalam program akselerasi 2007-2008 dengan selalu berorentasi kepada SDM baik di BI maupun di industri bank syariah, peningkatan efektivitas dan kualitas pengawasan perbankan syariah, penyempurnaan approach sosialisasi perbankan syariah agar sesuai dengan target pasar, peningkatan kualitas service dan jaringan pada bank syariah, ditambah lagi dengan upaya mendorong bank syariah agar lebih inovatif dalam menjual produk dan jasa bank baru dan lebih market friendly.Perkembangan peluang bisnis pasca UU Perbankan syariah adalah orientasinya meningkatkan minat investor dalam maupun luar negeri yang akan masuk dalam industri perbankan syariah, untuk itulah perlu meningkatkan kepastian hukum transaksi perbankan syariah di Indonesia. Dengan munculnya sentra-sentra ekonomi berbasis syariah antara lain perbankan syariah, BMT, asuransi syariah, pengadilan syariah, koperasi syariah, pasar modal syariah, MLM syariah, dan seterusnya; otomotis memerlukan upaya keras untuk memunculkan konsep universal mengenai sistem ekonomi islam secara utuh dan komperhensif yang akan memayungi sentra-sentra ekonomi berbasis syariah. Perbankan syariah di Indonesia akhirnya mendapat payung hukum setelah DPR . menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) perbankan syariah dalam rapat kerja, sembilan fraksi menyatakan setuju agar RUU ini disahkan dalam rapat paripurna. Undang-Undang Perbankan Syariah dengan draft final rancangan undang-undangini berisi 13 bab dan 70 pasal. Jumlah pasal berkurang dari draft awal sebanyak 15 bab dan 75 pasal. Menepis KetidakpastianAdanya ketidakpastian hukum melahirkan kekhawatiran otoritas moneter kita tentang keengganan investor asing datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannnya melahirkan nuansa Islamphobia yang tidak semestinya hadir ditengah pengesahaan RUU Perbankan Syariah, dan yang paling penting saat ini adalah bagaimana bangsa Indonesia menyambut dengan positif, notabene harus dapat menepis Adanya kekeliruan interpretasi publik pada pasal tertentu RUU Syariah.Beberapa point penting undang-undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional. Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 UUS (unit usaha syariah), 26 UUS (unit usaha syariah), dan 114 BPRS. Dengan kekuatan ini perbangkan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang Beberapa point penting undang-undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usa ha syariah bank umum konvensional. Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 UUS (unit usaha syariah), 26 UUS (unit usaha syariah), dan 114 BPRS. Dengan kekuatan ini perbangkan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang cabang syariah secara langsung maupun melaluikonversi cabang konvensionalnya menjadi cabang syariah.Tentu saja, kondisi saat ini membutuhkan adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak agar sistem ekonomi berdasarkan syariah Islamiyah dapat terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi perekonomian nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan.Di tengah ketidakstabilan ekonomi saat ini dan masih kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi moneter, bank syariah tetap dapat mampu berdiri tegak di tengah berbagai terpaan rintangan dan persaingan yang terjadi. Potensi yang besar tersebut, harus memacu institusi perbankan syariah sendiri untuk lebih kreatif, inovatif, dan teroganisir dengan profesional. Tantangan saat ini adalah sejauhmana pelaku perbankan syariah bisa memformulasikan kegiatan­kegiatan dalam membangun perekonomian nasioanal setelah mendapat payung hukum. Bank syariah diharapkan mampu menjawab segala harapan dan optimisme akan pentingnya sistem Islam diterapkan dalam dunia perbankan. UU Perbankan Syariah dalam pasal 55 diatur:1.Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan daalm lingkup peradilan agama. 2.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.Dalam penjelasan pasal 55 tsb dijelaskan bahwa yg dimaksud dengan 'penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad" adalah upaya sbb: (a) musyawarah. (b) mediasi perbankan.(c) melalui Basyarnas. (d) melalui pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Perbankan Syariah Dan UU Terkait 1.UU No. 7/1992 & No. 10/ 1998 Tentang Perbankan 2.UU No. 23/ 1999 Tentang Bank Indonesia 3.UU No. 24/ 2004 Tentang Lembaga Penjamin 4.UU No. 3/ 2006 Tentang Perseorangan Terbatas 5.UU No. 40/ 2007 Tentang Perseroan Terbatas 6.UU No. 38/ 1999 Tentang Pengelolaan Zakat 7.UU No. 19/ 2008 Tentang SBSN 8.UU & PP Perpajakan, Pertanahan, Pembiayaan DLL 9.UU Perbankan Syariah
PSAK 59: "Syukur namun perlu disempurnakan" dan Accrual dan Cash basis masing masing ada tempatnya
2008-08-26
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 59 tentang akuntansi perbankan syariah merupakan instrument penting dalam perkembangan bank syariah di Indonesia. Dalam PSAK 59 ini, kata pakar akuntansi dari Universitas Trisakti, Sofyan S Harahap, sumber dan tata nilai Islam masih merupakan “cangkokan” kedalam akuntansi konvensional belum merupakan standr yang lahir dari tatanan sosial, ekonomi dan bisnis yang Islami, “Ibarat pohon, batangnya kapitalis, rantingnya Islam,” kata Harahap memberikan perumpamaan. Sehingga ada dualiusme katanya. Dia bersama Achmad Baraba menjadi penyaji dalam diskusi tentang akuntansi Islam yang selenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), di BNI Sudirman Jakarta, Jumat 16 Agustus akhir pekan lalu.
Isu PSAK 59 memang menjadi isu nasional belakangan ini karena setelah ditebitkan baru muncul reaksi keras atas prinsip dasar akuntansi yang dianutnya khususnya mengenai pengakuan pendapatan.. Tampaknya bank syariah yang sudah beroperasi merasa keberatan untuk menerapkan prinsip pengakuan pendapatan PSAK yang diharapkan sudah mulai berlaku sejak tahun buku 1 Januari 2003. Kenapa bisa terjadi dualisme itu? Dr Harahap menyebut dualisme ini terjadi karena kerangkan konsep dalam penyusunan PSAK filosofinya bukan merupakan conceptual framework yang seenarnya bahkan masih mengacu pada sistem konvensional. “Belum lahir kerangka yang utuh dari sistem Akuntansi Islam,” kata ketua program Magister Akuntansi Universitas Trisakti ini.Dia melanjutkan, PSAK 59 harus dianggap sebagai konsep temporer yang mesti disempurnakan setelah kerangka atau basic principle Ekonomi dan Akuntansi Islam yang established lahir. “Secara filosofis, PSAK 59 belum memuaskan. Namun marilah sementara kita pakai untuk bisa melahirkan tatanan normatif Islam menjadi empirisme,” katanya menutup pembicaraan. (Rep 19 Agustus’02)Dalam dialoh santai itu beliau juga menjelaskan bahwa akuntansi memiliki berbagai keterbatasan termasuk sistem: dasar akrual dan dasar kas. Dalam peta pemikiran akuntansi ada juga pendukung Dasar Kas ini misalny TA Lee dari UK atau Thomas Sterling. Mereka ini mengkritik konsep alokasi arbitrer dari akuntansi jika tidak menggunakan dasar Kas. Artinya banyak lubang lubang manipulasi yang bisa dilakukan manajemen jika diberikan peluang untuk melakukan alokasi yang merupakan cara yang ditempuh dalam sistem akrual. Krisis kepercayaan akan akuntansi di Amerika salah satu disebabkan oleh konsep alokasi dan pengakuan pendapatan berdasarkan alokasi atau taksiran bukan berdasarkan realisasi kas.Memang dasar akrual yang digunakan oleh perbankan konvensional saat ini tergolong diterima umum atau generally accepted. Namun bisa dinilai kurang riel dan bisa ‘mengelabui’ nasabah karena menempatkan pendapatan yang belum direalisasi sebagai pendapatan. Dan akan sulit jika nantinya ternyata tidak bisa direalisasi. Namun kalau cash basis diterapkan secara sempurna repot juga karena semua pengeluaran kas misalnya untuk investasi harus dianggap sebagai pengeluaran tidak boleh dianggap sebagai penyusutan yang di accrue sambungnya. PSAK sebenarnya memilih jalan tengah. Pendapatan dicatat jika sudah diterima (cash basis) sedangkan biaya diakui menurut kejadiannya dicatat kendaptipun belum dibayar. Dari satu sisi ini tidak konsisten dan kalau kita melihat dari Alquran surat Albaqarah 282 sebenarnya Islam menerima konsep akkrual namun dalam hal sesuatu yang belum pasti kita tidak bisa memastikannya misalnya apakah bagi hasil benar benar diterima. Menurut Dr Harahap, dalam konteks ini sebenarnya PSAK ini sudah mengakomodir keinginan dari para banir syariah. Namun yang perlu diatur adalah bagaimana penempatannya dalam laporan keuangan terutama dalam penyusunan laporan keuangan (bukan dalam penghitungan pendapatan) apakah disusun menurut accrual atau cash basis. Ketua Jurusan Akuntansi Trisakti ini juga menyampaikan bahwa saat ini accrual basis sangat dominan, namun bukan tidak dipakai cash basis. Dan trend akuntansi cenderung semakin dekat dengan pendekatan cash basis. Tidak ada yang salah dari kedua duanya, yang penting adalah penempatannya sesuai konteks industri dan jenis transaksinya.Dalam kesempatan itu Ahmad Baraba dan Iwan Pontjowinoto menyarankan agar masalah ini dapat didialogkan bersama secara intern bank syariah dan kemudian baru disampaikan kepada BI dan IAI secara ilmiah sehingga PSAK yang sudah ada dapat disempurnakan sesuai keinginan bersama.
Perbankan Syariah Dan Optimisme Menatap 2009
Tahun 2008 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi sistem keuangan, baik domestik maupun global. Krisis yang bermula dari suprime mortage telah mengganggu stabilitasi sistem keuangan. Pertumbuhan industri perbankan syariah pada 2008 cukup meredup justru ketika diprediksikan bisa mencetak sejarah menguasai 5% aset perbankan nasional. Dana pihak ketiga hanya tumbuh 22,88%, jauh lebih rendah dari pertumbuhan 2007 sebesar 35,46%. Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga November 2008, bank syariah syariah membukukan dana pihak ketiga Rp34,42 triliun dari posisi akhir 2007 sebesar Rp28,01 triliun. Pada akhir 2006, bank jenis ini menghimpun dana Rp20,67 triliun.
Dari sisi aset, dalam sebelas bulan 2008 terjadi pertumbuhan Rp10,64 triliun atau 29,12% dari akhir 2007 sebesar Rp36,53 triliun. Namun, ini pun tak cukup untuk melampaui persentase pertumbuhan 2007 sebesar 36,71%. Berbagai upaya mendongkrak pertumbuhan bank syariah sebenarnya telah dilakukan pada paruh pertama tahun ini. Salah satunya adalah pengadaan lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariah. Hanya saja, ini tak cukup menarik terbukti dari penempatan dana di BI justru tinggal Rp3,5 triliun dari akhir 2007 sebesar Rp 4,8 triliun. Selain itu, Undang Undang Perbankan Syariah sudah disahkan pada kuartal pertama 2008. Terakhir, pemerintah pada 24 Agustus 2008 melelang obligasi negara syariah (sukuk) perdana. Namun, minat perbankan syariah pada instrumen tersebut juga cukup menggembirakan. Ini terbukti dari kontribusi penawaran sebesar Rp 780 miliar dari sukuk yang diterbitkan Rp4,69 triliun.
Dari sisi kelembagaan, jaringan operasional perbankan syariah mengalami peningkatan jangkauan yang cukup signifikan sampai dengan triwulan ketiga tahun 2008. Outley pelayanan mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang dari jaringan kantor dibawah kantor cabangm baik berasal dari BUS dan UUS. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/ kota di 33 proponsi. Partisipasi itu lebih rendah dari asuransi 50,8%. Menurut Agustiono (dosen S2 Universitas Trisakti, UI, Paramadina) bahwa terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun. Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga tumbuh makin pesat, secara fantastis.
Krisis keuangan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius. Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang. Perkembangan industri lembaga syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini. Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440 (Data BI Okt 2008). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Sementara itu Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) juga bertambah 2 buah lagi, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima Bank Umum Syariah. Pada tahun 2009, akan hadir 8 Bank Umum Syariah lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi 12 buah. Secara umum krisis keuangan global belum secara signifikan mempengaruhi kinerja perbankan nasional, dimana pertumbuhan pembiayaan (kredit) perbankan yang masih tinggi dengan tingkat pembiayaan (kredit) bermasalahnya yang masih terjaga di bawah 5%. Jika suku bunga meningkat, maka ia akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah, begitu pula sebaliknya jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat. Pada saat ini suku bunga cendrung menurun, maka DPK di tahun 2009 akan terus meningkat. Pada tahun 2009, bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh. berkembangnya industri lembaga keuangan syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.


Dampak Makro Ekonomi Dan Prospek Perbankan Syariah 2009
Industri perbankan syariah diharapkan tetap akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2009. Proyeksi ini diambil dengan mempertimbangkan beberapa kondisi: (1). Kinerja permintaan domestik masih relatif tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi global (2) industri perbankan syariah nasional masih dalam tahapan perkembangan awal dan belum memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan sistem keuangan global dan tidak memiliki srafitikasi transaksi yang tinggi. Ekposur pembiayaan perbankan syariah masih didominasi olem pembiayaan pada aktivitas perekonomian domestik, artinya masih dapat bertumbuh dengan cepat sebagaimana kinerja pertumbuhan pembiayaan yang tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang cukup baik. Disisi lain, Kinerja ekonomi sektor riil berupa peningkatan inflasi diikuti penurunan konsumsi yang terus terjadi sejak awal tahun tahun 2008 memberikan tekanan pada pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah mulai triwulan ke-2 tahun 2008. perlambatan pertumbuhan ekonom dunia dalam periode waktu yang cukup panjang akan menyebabkan tekanan liquiditas pada sistem perbankan nasional, termasuk perbankan syariah. Diperkirakan, semakin banyak nasabah korporasi akan menarik dana sebagai implikasi dari penurunan kondisi usaha. Secara makro, otoritas moneter akan berusaha mempertahankan nilai tukar untuk mencegah terjadinya capital outflow yang ditandai oleh peningkatan suku bunga yang relatif tinggi. Sementara itu, ada angin segarnya tersedianya dana investasi global yang berlimpah, terutama yang berasal dari kawasan berpenghasilan minyak bumi dari timur tengah, siap dialirkan ke berbagai tujuan investasi di seluruh dunia. Perkiraan besarnya surplus dana investasi ini mencapai sekitar 1,5 triliun dollar AS pada tahun 2009. perbankan syariah nasional di tahun 2009 diperkirakan masih akan berada pada tahun 2009 diperkirakan masih akan berada dala fase highgrowth-nya. Optimisme tersebut didasarkan pada asumsi, bahwa faktor-faktor yang mempercepat pertumbuhan industri perbankan syariah akan dapat dipenuhi, antara lain : realisasi konversi beberapa UUS (unit-unit syariah) menjadi BUS, implementasi UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, Implementasi UU No. 19 tahun 2009 tentang SBSN (obligasi syariah), dukungan dari amandemen UU Perpajakan.

Bank Syariah Harus Tahan Banting di tengah Badai
Sejumlah negara barat mulai melirik perekonomian syariah sejak terjadi krisis kapitalisme, sebagai salah satu alternatif lantaran perbankan syariah hampir tak tersentuh dampak besar krisis global. Menurut konsultan Batasa Tazkia Consulting, Heriyakto S Harmono, prinsip syariah yang bersifat universal membuatnya dapat diterapkan di berbagai negara, dan dalam hal ini umat islam pun berperan sebagai faktor katalis untuk mengakselerasi pertumbuhan perbangkan syariah, artinya bank syariah harus menunjukan kinerja terbaiknya sebagai mitra sektor riil. Sementara itu, menurut pengamat perbankan syariah dan akademisi, Sofyan S Harahap mengatakan ketahanan perbankan syariah bisa bertahan lam asal saja prinsip syariah benar-benar dijalankan para pelaku, ditengah badai krisis sistem industri syariah nasional justru haru menawarkan keunggulan prinsip-prinsipnya kepada masyarakat dan kondisi harus dimanfaatkan para pelaku usah syariah dengan baik untuk mengembangkan perbankan syariah nasional. Katanya. Sementara itu terkau dengan industri perbankan syariah, bank indonesia (BI) merevisi target pencapaian total aset perbankan nasional dari tahun ini dan tahun depan menjadi tahun 2010. Menurut Deputi BI, Siti Fadjirah dengan diundurnya pencapaian target tersebut karena kondisi ekonomi saat ini memang melambat. Sementara itu, direktur Karim Consulting, Adi Warman Karim mengatakan bahwa ada empat hal yang diterapkan oleh bank syariah kepada bank Indonesia dan pemerintah agar bank syariah berkembang lebih cepat. Pertama, adanya istrumen liquiditas. Kedua, kalau mau tumbuh lebih cepat, kita ingin juga-dan sudah dilakukan pemerintah dengan penurunan kewajiban modal untuk pendirian bank yang baru, yakni Rp. 500 miliar. Ketiga, adanya kejelasan dan kepastian mekanisme spin off. Keempat, yang kita harapkan di Indonesia khsususnya di Bank Syariah persoalan pajak harus benar-benar selesai. Sementara Riawan Amin (Dirut Bank Muamalat) mengajak seluruh pelaku industri perbankan syariah di tahun 2009 agar menjadikan momentum krisis keuangan global sebagai momentum untuk memperbaiki kinerja syariah nasional, justru dalam kondisi krisis seperti ini, perbankan syariah perlu menunjukan kinerja terbaiknya .

BATIK MUHAMMADIYAH


kode : 01

keterangan :
* harga Rp 100.000 (belum termasuk ongkos kirim )
* ukuran 2 meter
* hub: irzadi /081133177771
* bisa ditranfer ke bank MANDIRI KCP DIPONEGORO KEDIRI
no rek 1440007824854 atas nama M.IRZADI.NIRWAN.








Minggu, 05 April 2009

Aplikasi Akad Syariah dalam BISNIS

Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka. Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok.

Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.

Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).

Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:
1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan transaksi;
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)

Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.

Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.

Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen. Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.

Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi Syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Berbagai macam bentuk akad muamalah terdapat dalam Ekonomi Syariah guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain sebagaimana yang dipaparkan secara singkat berikut ini.

AL MUSYARAKAH (Kerjasama Modal Usaha)
Al Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Al Musyarakah dalam aplikasi lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk:
Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.

AL MUDHARABAH (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah berbentuk:
Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”, adalah pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).

AL MURABAHAH (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (margin) sebagai tambahannya.

Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
Kontrak harus bebas dari riba;
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.

Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah adalah kontrak untuk sekali akad (one short deal), sehingga kurang tepat jika digunakan untuk pembiayaan modal kerja.

BAI’ AS SALAM (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.

Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).

Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.

BAI’ AL ISTISHNA’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

AL IJARAH (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah dapat pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada akhir periode penyewaan.

Dalam aplikasi, Al Ijarah dapat dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan biasanya menggunakan Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli karena lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik saat leasing ataupun sesudahnya.

QARD AL HASAN (Pinjaman Kebajikan)
Qard adalah akad yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial.

Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah adalah ikut serta dalam kegiatan sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.

Qard al Hasan adalah produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa tambahan atas dana yang dipinjam.

Dengan demikian, dapat kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang berdasarkan ekonomi Konvensional, karena semata-mata hanya menggunakan akad pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.