Selasa, 21 April 2009

peradilan agama dan sengketa ekonomi syariah

Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tumbuh pesat di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal dengan instrumennya obligasi dan reksadana syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dll. Menurut data Bank Indonesia (Mei 2005), jumlah nasabah /deposan perbankan syariah lebih dari 2 juta orang, sedangkan jumlah nasabah pembiayaan sekitar 300.000an orang. Data itu belum termasuk nasabah asuransi, pegadaian, pasar modal dan dana pensiun syariah. Juga belum termasuk nasabah Baitul Mal wat Tamwil yang mencapai dari 3 juta orang. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi syariah.Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini kasusnya selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 3/2006, tentang Peradilan Agama perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan Agama, yaitu bidang: Perkawinan, Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No 3/2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu lakukan amandemen.Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara ortang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, b. Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. Asuransi syari’ah, d. Reasurasi syari’ah, e. Reksadana syari’ah, f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. Sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah k. Bisnis syari’ah. Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Pengadilan Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan konvensional. Maka sangat aneh, jika masalah syariah diselesaikan secara konvensional, bukan secara syariah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.Amandemen ini memang dirasakan sangat penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syari’ah bergerak cepat, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, lembaga keuangan mikro syariah (BMT), pergadaian syari’ah, dsb. Selama ini, banyak kasus sengketa ditangani oleh Basan Arbitrase Syariah Nasioal (Basyarnas), sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara ”terpaksa” harus memilih lembaga Basyarnas untuk menyelesaikannya. Setiap draft kontrak syariah telah memuat klausul Basyarnas. Keharusan ke Basyarnas karena belum dikeluarkannya UU No3/2007. Tetapi setelah keluarnya Undang-Undang tersebut, harus dibuka peluang seluas-luasnya kepada Pengadilan Agama untuk menadilinya, sehingga tidak menjadi monopoli Basyarnas.Selain itu, sering pula ditemukan redaksi akad yang membuka dualisme hukum yang sangat menyesatkan. Banyak bank-bank yang syariah yang menyebutkan dalam akadnya, bahwa jika terjadi perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase syariah atau Pengadilan Negeri. Hal ini menyesatkan, karena jika para pihak sudah menentukan dan memilih lembaga arbitrase, maka sudah tertutup peluang kepada Pengadilan Negeri. Pilihan tersebut harus tegas, apakah arbitrase atau pengadilan Negeri. Jika para pihak memilih pengadilan Negeri, hal inipun tidak tepat, tidak relevan dan jelas tidak sesuai syariah. Dengan keluarnya UU No 3/2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama, kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Satu hal lagi yang menjadi catatan penting adalah masalah eksekusi. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama (Syariah). Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999. Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya UU No 3/2006. Dengan kata lain, Undang-Undang arbitrase harus diamandemen.Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 ini juga membawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syari’ah saat ini. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan amandemen ini maka klasul tersebut seharusnya dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah. harus diubah.Klausul tersebut juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh fatwa DSN MUI. Dalam fatwa DSN MUI dan PBI disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PBI yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya. Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta kehilangan peran, sebab jika para phak memilih badan ini menyelesaikan kasusnya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga atbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada Undang-Undang No 3/2006. Tetapi, setelah Undang-Undang No3/2006 lahir, maka lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi monopoli lembaga arbitrase. Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat memilih Lembaga Badan Abitrase.Klausul keharusan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah sebuah kesalahan fatal. Sama fatalnya, jika setiap transaksi bisnis non syariah harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase konvensional yang disebut BANI, bukan Pengadilan Umum. Silakan lihat bunyi klausul kontrak bisnis konvensonal, apakah semuanya ada klausul diselesaikan lembaga Arbitrase,? Dan tertutup bagi pengadilan?.Jawabannya jelas tidak. Karena itu, hal yang sama harus diterapkan juga di dalam bunyi kontrak syariah.Lima MasukanDengan keluarnya UU No 3/2006, ada lima masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian.Pertama, jika terjadi sengketa di bidang ekonomi syari’ah, penyelesaian perkaranya tidak boleh dibatasi (dikunci) hanya oleh lembaga arbitrase syariah (BASYARNAS). Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan Arbiotrase Syariah nasional, hendaknya dihilangkan. Kedua, Oleh karena seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsyiah) perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) siap melakukannya bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan Workshop dan Training tersebut.Ketiga, Dalam RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang akan segera disahkan harus dimasukkan sebuah pasal yang menyebutkan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam masalah perbankan syariah, harus diselesaikan di Peradilan Agama. Jadi bukan di pengadilan Umum atau Badan Arbitrase. DPR jangan sempat melupakan klausul ini agar kedua Undang-Undang tersebut sinkron dan tidak bertentanganKeempat, dengan disahkannya UU No3/2006 ini, maka semua perundang-undangan yang terkait harus menyesuaikan (diamandemen), walaupun pasal yang diamendemen hanya satu pasal. Undang-Undang yang perlu dimandemen tersebut antara lain :

1. Undang-Undang Arbitrase,
2. Undang-Undang Pasar Modal,
3. Undang-Undang tentang Asuransi,
4. Undang-Undang tentang Pegadaian,
5. Undang-Undang No 17/2000 tentang PPn, dsb.
6. Undang-Undang Resi Gudang,dsb

Kelima, diperlukan perubahan (penambahan) materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum Islam, yaitu perkawinan, Warisan dan Waqaf. KHI yang menjadi rujukan hukum para hakim agama itu perlu menambah materi hukum ekonomi Islam (muamalah).

1 komentar:

  1. Sebelum Pengadilan Agama memiliki sistem peradilan yang mapan secara khusus mengenai Regulasinya tentang Sengketa Ekonomi Islam. Sangat diperlukan jika PA menyediakan Mediator Sengketa Ekonomi Islam secara Khusus yang ditunjuklah para pakar ekonomi dari dalam dan luar PA yang bekopenten dalam urusan Ekonomi.

    BalasHapus