Minggu, 05 April 2009

Perbankan Syariah dan Rencana Penerapan UU LPS
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Oleh : Arba'iyah Satriani
Wartawan Republika

Saat ini, perbankan syariah di Indonesia tengah menjadi primadona. Data Bank
Indonesia (BI) menunjukkan, perbankan syariah mencatat pertumbuhan yang tinggi,
yaitu rata-rata di atas 70 persen sejak 1998. Karena itu, BI memperkirakan
prospek industri perbankan syariah pada 2005 ini akan semakin baik.
Menurut Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, selama 2005 ini pengembangan
perbankan syariah akan difokuskan pada empat area utama. Yaitu, kepatuhan pada
prinsip syariah, ketentuan prinsip kehati-hatian, efisiensi operasi dan daya
saing serta kestabilan sistem kemanfaatan bagi perekonomian. Selain itu, BI
memperkirakan volume usaha perbankan syariah pada 2005 akan mencapai Rp 24
triliun atau 1,8 persen dari industri perbankan nasional. Sedangkan dana pihak
ketiga (DPK) diperkirakan mencapai sekitar Rp 20 triliun dengan jumlah
pembiayaan mencapai sekitar Rp 21 triliun.

Pada 2011, BI memproyeksikan total aset perbankan syariah akan mencapai Rp
171,35 triliun atau porsinya 9,10 persen dari total industri perbankan
nasional. Proyeksi itu, menurut Direktur Perbankan Syariah BI, Edi S,
menggunakan asumsi pertumbuhan awal 90 persen dan setiap tahun setelahnya
mengalami pengurangan 10 persen pertumbuhan (slow down) hingga 2008. Setelah
itu, pertumbuhan akan mengalami penurunan menuju mature condition (kondisi
penuh). Sedangkan menurut Presdir Karim Business Consulting (KBC), Adiwarman A
Karim, aset perbankan syariah di Indonesia pada 2011 diproyeksikan akan berada
pada kisaran Rp 300 triliun hingga Rp 360 triliun. Angka itu sama dengan 16,7
persen dari pangsa pasar industri perbankan nasional.

Di sisi lain, pada 22 September 2005, jika tak ada aral melintang,
Undang-Undang No 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan mulai
diimplementasikan. Saat ini, UU tersebut masih dalam tahap sosialisasi,
meskipun gaungnya tak begitu terdengar. Pertanyaannya kemudian, adakah kaitan
langsung antara rencana penerapan UU LPS ini dengan potensi yang dimiliki oleh
perbankan syariah serta fokus pengembangan perbankan syariah pada 2005?
Penerapan UU LPS ini bisa dipastikan menjadi semacam pedang bermata dua bagi
perbankan syariah. Jika tak berhati-hati dalam mengantisipasi implementasi UU
LPS, 'primadona' yang sedang tumbuh ini, akan tergelincir ke jurang kehancuran.
Kalau hal ini terjadi, maka perbankan syariah akan mengalami kesulitan untuk
bangkit lagi karena reputasi yang hancur dan rusaknya tatanan perekonomian yang
ada.

Kondisi riil
Pertumbuhan yang hanya 1,8 persen pada 2005 ini dinilai sebagian kalangan
sebagai suatu yang tak semestinya terjadi. Kepala Divisi Syariah Bank Jabar,
Rukmana, menilai setelah menembus angka psikologis satu persen, seharusnya
pertumbuhan perbankan syariah bisa lebih pesat. Namun, ia mengakui, salah satu
kendala yang dihadapi oleh perbankan syariah saat ini adalah kompetensi sumber
daya insani (SDI) yang masih jauh dari yang diharapkan.

Sekretaris Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jabar ini memberikan contoh,
bagaimana para karyawan bagian marketing di perbankan syariah tak fasih
mengucapkan berbagai istilah dalam perbankan syariah. Akibatnya, para calon
konsumen potensial dari pasar emosional enggan memanfaatkan jasa perbankan
syariah.

Di sisi lain, para pekerja di sektor perbankan syariah, ternyata tak cukup
yakin bahwa sistem ini merupakan sistem yang bagus. Terbukti, sebagian dari
para karyawan perbankan syariah masih memanfaatkan layanan bank konvensional
dalam transaksi kesehariannya sebagai pribadi. Jadi, bagaimana para praktisi
perbankan syariah bisa mengajak pihak lain untuk memanfaatkan layanan perbankan
syariah, sementara mereka sendiri tak mempraktekkannya?

Kondisi itu pulalah, menurut penulis, yang menjadi salah satu sebab pasar
mengambang (yaitu pasar rasional dan potensial) tetap mengambang. Hasil
penelitian KBC, potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun. Jumlah ini
jauh lebih besar ketimbang pasar loyalis syariah yang 'hanya' Rp 10 triliun dan
diperkirakan akan habis dalam satu tahun ini. Sementara pasar loyalis
konvensional berkisar Rp 200-an triliun. Artinya, peluang pasar mengambang
sangatlah besar dan hingga kini belum tergarap. Namun, jika SDI perbankan
syariah tak pandai mempromosikan produknya, maka peluang itu akan tetap
mengambang.

Persoalan lain yang muncul adalah, belum tersosialisasikannya sistem syariah,
bahkan kepada para nasabah perbankan syariah sekali pun - baik pemilik dana
maupun mitra yang dibiayai - secara baik. Dalam beberapa kesempatan, ditemukan
bahwa sebagian nasabah memilih berhubungan dengan perbankan syariah karena
lokasinya tak jauh dari tempat nasabah (kantor maupun rumah) atau karena
perbankan syariah inilah yang menawarkan pembiayaan kepada mereka. Dengan
demikian, keputusan untuk memanfaatkan layanan perbankan syariah, bukan
didasari oleh bukti/alasan bahwa sistem ini lebih baik dan lebih menguntungkan
ketimbang perbankan konvensional.

Sesungguhnya, fenomena di atas tak lepas dari kemampuan SDI perbankan syariah
saat memasarkan produknya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian SDI
perbankan syariah terkesan menggampangkan masalah. Saat melakukan kegiatan
marketing, mereka memberikan contoh nisbah bagi hasil ekuivalen bunga bank
konvensional. Akibatnya, yang muncul dalam benak masyarakat adalah bahwa bank
syariah tak berbeda dengan bank konvensional.

Minimnya jaringan perbankan syariah menjadi persoalan yang lain lagi. Memang,
secara perlahan, berbagai bank syariah/unit syariah kini membuka layanan yang
nyaris sama dengan bank konvensional. Namun, belum seluruhnya bisa disamai.
Karena itu, tak heran jika salah seorang ulama kondang di Bandung tetap memilih
bertransaksi dengan bank konvensional. Pasalnya, hingga kini belum ada bank
syariah yang bisa memenuhi kebutuhannya dalam bertransaksi keuangan.

Ulama ini berpendapat bahwa saat ini situasinya masih darurat. Menurut kacamata
dia, situasi sudah tak lagi darurat jika bank syariah bisa menjawab semua
kebutuhan bertransaksi seperti yang selama ini dijalaninya. Masih banyak
masyarakat yang juga mempunyai anggapan seperti ulama tersebut. Kenyataan ini
tak bisa dimungkiri meskipun juga tak sepenuhnya benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar